Pelajaran dari Si Wanita Baik Itu #2
Saya : Saya kerumah kamu, atau langsung ke tempat kita janji bertemu?
Lelaki itu : Ditempat bertemu. Saya bersiap.
Saya : Saya sudah dekat
Lelaki itu : Ditempat bertemu. Saya bersiap.
Saya : Saya sudah dekat
Wanita itu masih tunduk dalam sekali, padahal cahaya di layar HPnya sudah mati. Pertanda bahwa HPnya sedang tak ia gunakan lagi.
Wajahnya suntuk sekali. Seperti sedang tertekan dan atau ditekan.
"Eh, maaf telat." Tegur lelaki yang beberapa hari lalu berjanji akan menikah dengannya, dalam beberapa bulan lagi.
Wanita itu mengangkat kepalanya, yang kini menjadi berat karena sadar sebuah masalah akan menerpanya.
"Kenalin, ini Mawar." Sebut lelaki itu dengan raut wajah kurang enak.
"Oh ya, udah tau. Tapi baru ini ketemu." Jawab wanita itu yang lalu beramah tama sesuai dengan khas dirinya.
"Sebenarnya disini Mawar cuma mau tanya dan konfirmasi." Wanita itu angkat bicara.
"Perihal?" Tanya wanita itu dengan wajah santai yang ceria. Abis tertawa dengan lelaki pujaannya.
"Sebenarnya kalian ada hubungan apa? Dan sejauh apa?" Tanyanya dengan raut memata-mata.
Wanita lucu itu masih diam, kebingungan melandanya.
"Sebentar biar aku jelaskan. Tadi malam setelah kamu berkunjung kerumahku. Wanita ini datang. Dan numpang menginap bersama adik-adikku. Ternyata menurutnya ada yang perlu kita selesaikan." Jelas lelaki itu yang hanya disambut anggukan dan senyuman oleh wanita lucu itu. Yang memang benar-benar hanya mengeluarkan ekspresi lucu dikondisi seribet itu.
"Jadi kak, kata dia. Kami ada hubungan apa?" Wanita baik itu mulai angkat bicara. Dan justru malah menanya kembali, bukan memberikan jawaban.
Alasannya satu, karena dia tahu. Wanita itu tak butuh jawaban. Dia butuh diyakinkan atas langkahnya hingga sampai nekat minta ditemukan dengan wanita baik itu.
"Awalnya dia bilang kalian teman satu komunitas. Lalu, dia bilang kalian sudah komitmen akan menikah." Jawabnya emosi sekali. Dengan nada berapi-api.
Lelaki itu ditenangkan, diminta diam dan mendengarkan dengan bahasa isyarat yang langsung dimengerti.
"Gini ya, aku yang duluan kenal sama dia. Kenal duluan sama keluarganya. Orang tuanya juga desak aku nanya kapan kami menikah. Adiknya juga. Apa lagi keluargaku yang uda suka sama dia dan sudah aku janjikan bahwa kami akan menikah. Jadi gini ajalah. Kamu pilih dia, wanita yang masih kecil ini, masih anak-anak ini, masih kuliah ini. Atau aku yang semuanya uda okeh, bahkan udah dikasih lampu hijau sama keluargamu?"
Wanita itu emosi sejadi mungkin.
Wanita itu emosi sejadi mungkin.
Berbeda dengan wanita baik itu, dia mendengarkan dengan baik, tersenyum, dan meneguk air minumnya pelan-pelan namun banyak sekali. Yang ia yakini, dengan minum dapat menenangkan diri.
Lelaki itu geram sekali, namun berusaha tenang berulang kali.
"Gak gitu kondisinya Mawar. Kalau kamu tanya aku pilih siapa, ya aku pilih dia. Kami akan menikah. Aku gak pernah berfikir akan punya hubungan apa-apa sama kamu." Jelas lelaki itu yang disambut dengan tamparan di wajahnya.
Wanita baik itu menggigit bibir bawahnya masih bungkam.
"Aku mau dengar apa tanggapanmu! Jawab!" Bentaknya pada wanita yang dikepalanya diam-diam sedang menyusun kata-kata terbaik yang dia punya.
Wanita itu menarik nafas dalam sekali, memperbaiki posisi duduknya.
"Kakak silahkan duduk, dan minum dulu. Kita ini orang berpendidikan,kan kak?" jawabnya tenang sekali.
Wanita itu duduk, meneguk minumnya. Warna wajahnya berubah lebih tenang.
"Sebelumnya, aku minta maaf karena adanya aku jadi salah faham. Tentu aku tau soal kakak, aku tau wanita mana aja yang pernah dia kenalkan ke keluarganya. Aku tau semuanya kak. Termasuk kakak. Dan aku tahu gimana respon keluarganya. Aku tahu gimana awal dan akhirnya. Yang perlu digaris bawahin, sampai hari ini menurut mama dan ayahnya. Belum ada wanita yang mereka pilih untuk menjadi menantu mereka, termasuk saya. Saya tau kakak merasa terancam, tapi semua ini kembali lagi soal pilihan, pilihan yang dipilih sekali seumur hidup. Jikalah sebuah masalah harus dengan tampar-tamparan. Bukan gak mungkin hubungan pernikahan kalian jika kalian menikah akan berakhir dengan bunuh-bunuhan." Wanita itu menelan ludah, menarik nafas lagi. Tak ingin salah bicara, karena takut menyakitkan hati.
"Soal aku, kakak benar. Aku masih anak-anak ya,hehe. Aku masih kuliah, dan akan terus belajar sampai aku mati kak. Tapi, sekarang. Kita biarkan lelaki yang kakak gilai ini memilih. Kita biarkan dia menetukan. Dia yang berhak menentukan kak, bukan kita." Wanita itu mengambil gelasnya, kembali minum dan memberi isyarat mempersilahkan lelaki yang sedang ia cintai berbicara.
"Aku milih Dia, War. Maaf ya." Jawabnya lembut dan meyakinkan, menatap mata wanita yang kini menangis karena hatinya terhunus, dan kenyataan bahwa lelaki yang ia amat gilai hingga sampai berbuat segala macam keputusan dan tindakan. Nyatanya tak memilihnya.
Wanita baik itu duduk lebih tegak, dan hening. Menyaksikan air mata jatuh dan bertumpahan didepannya.
"Aku izin pamit, mau ada acara keluarga. Aku minta maaf kak, kalau ternyata dia pilih aku. Jika tadi dia pilih kakak, aku relakan dan aku siap dengan kondisinya kak. Namun hatinya berkata tidak demikian. Semoga kakak diusia yang sudah matang ini bertemu dengan yang layak. Kuncinya ikhlas ya kak." Pesannya yang lalu berlalu meninggalkan dua orang yang harus menyelesaikan urusan mereka.
Wanita itu bertahan, karena ia dipertahankan. Wanita itu dilakukan berbeda, dan penuh penjelasan. Itulah alasan kenapa ia percaya, dan bertahan. Bahwa cinta itu diperjuangkan, diperlakukan dengan baik dan apa adanya.
keren banget ka, banyak pembelajaran didalamnya bagi kaum wanita. baca punya aku juga ya ka https://ailenheart.blogspot.com/ terima kasih
BalasHapusOke kaa, terimakasih kembaliā¤
Hapus